Menyiapkan Bekal Perjalanan Abadi
Jamaah Jumat Rahimahumulloh
Terkadang kita cemas memikirkan masa depan yang belum tentu terjadi seperti
mencemaskan pekerjaan kita, mencemaskan harta kita, mencemaskan nasib diri dan
keluarga, anak kita besok menjadi apa serta hal-hal yang sifatnya duniawi.
Namun kita sering lupa akan masa depan yang pasti yaitu datangnya ajal.
$yJoY÷r& (#qçRqä3s? ãN3.Íôã ÝVöqyJø9$# öqs9ur ÷LäêZä. Îû 8lrãç/ ;oy§t±B 3
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun
kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh (QS. Annisa : 78).
Jamaah
Rahimahumulloh
Usai shalat, Nabi shallallahu alaihi wasallam
berkhuthbah membacakan beberapa ayat al-Qur’an, hingga beliau baca firman Allah
dalam surat al-Hasyr:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£s% 7tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7Î7yz $yJÎ/ t
bqè=yJ÷ès?
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah
kepada Allah.” (QS. Al-Hasyr: 18).
Seseorang telah bersedekah dengan dinarnya, dirhamnya,
pakaiannya, takaran sha’ kurmanya, sampai beliau berkata, “walaupun dengan
separuh kurma.”
Jarir berkata, “Lalu seorang dari Anshar datang
membawa sebanyak genggaman tangannya, hampir-hampir telapak tangannya tidak
mampu memegangnya, bahkan tidak mampu. Kemudian berturut-turut orang bersedekah
sampai aku melihat banyak makanan dan pakaian seperti dua bukit, dan kulihat
wajah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersinar seperti emas.” (HR.
Muslim).
Begitulah
antusias para sahabat untuk menyiapkan bekal akhiratnya. Mereka paham betul apa
yang Allah kehendaki dengan seruan itu. Ibnu Katsier menafsirkan ayat tersebut,
“Yakni hitunglah (amal) dirimu sebelum amal kalian nanti dihitung, dan lihatlah
perbekalan amal shalih apa yang telah kamu siapakan untuk tempat kembalimu di
akhirat, juga saat perjumpaanmu dengan Rabbmu.”
Jamaah
Rahimahumulloh
Begitulah
semestinya perilaku hamba yang menyadari bahwa dirinya sedang berjalan menuju
Allah untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia. Ia selalu memeriksa
perbekalan, menambal yang kurang dan menambah segala hal yang berfaedah. Inilah
yang dibahasakan oleh Ibnu Qayyim dalam Madarijus
Saalikin dengan muhasabah. Suatu fase yang harus dilakukan para musafir
ilallah, baik di awal perjalanan atau di sepanjang perjalanan.
Ibnul
Qayyim al-Jauziyah menjelaskan bahwa inti muhasabah ada dua; hendaknya ia jeli
memeriksa apa yang menjadi haknya dan apa yang menjadi kewajibannya. Sehingga
dia mengetahui apa yang menjadi bagiannya kelak di akhirat ketika dia
menjalankan kewajiban dan tuntutannya. Maka tatkala seseorang menginginkan
pahala, keridhaan dan kenikmatan akhirat, ia harus memeriksa dan menyiapkan
segala hal di dunia sebagai konsekuensinya.
Pada fase
ini, bahkan masih banyak orang yang belum mampu membedakan hal-hal yang
berfaedah sebagai bekal dan mana pula yang sejatinya menjadi beban. Ibarat
seorang musafir yang memenuhi pundi-pundinya dengan kerikil, yang tidak
berfaedah sedikitpun untuk meringankan perjalanan, justru menjadi beban yang
memberatkan langkahnya. Begitulah Ibnul Qayyim al-Jauziyah menggambarkan
orang-orang yang salah dalam mengambil bekal akhirat. Yakni orang yang beramal
dengan suatu amal yang dianggapnya sebagai keshalihan, namun tidak memenuhi
kriteria amal shalih; ikhlas dan mengikuti sunnah. Keadaan mereka digambarkan
oleh Allah dalam firman-Nya:
“Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu
tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya.
tûïÏ%©!$# ¨@|Ê öNåkß÷èy Îû Ío4quptø:$# $u÷R9$# öNèdur tbqç7|¡øts öNåk¨Xr& tbqãZÅ¡øtä $·è÷Yß¹ ÇÊÉÍÈ
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya’.” (QS. Al-Kahfi: 104).
Mereka
melakukan perbuatan yang disangka baik, padahal itu tidak dianggap baik oleh
Allah. Maka mereka salah dalam mengidentifikasi kebaikan dan keburukan. Atau
sebagai musafir, mereka telah salah dalam memilih bekal. Karena apa yang
dianggapnya sebagai bekal justru menjadi beban baginya dalam perjalanan
akhiratnya.Besar
kemungkinan mereka salah mengambil barometer.
Misalnya,
kebaikan dalam anggapan mereka adalah apa yang dianggap baik oleh orang
kebanyakan. Dia berbuat sebagaimana orang banyak berbuat, dia berpendapat
dengan pendapat mayoritas umumnya manusia, dan perilaku kebanyakan manusia ini
kemudian dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran.
Padahal,
betapapun sesuatu itu banyak digandrungi manusia, disukai dan dianggap baik
oleh mereka, itu sama sekali bukan indikasi kebaikan atau kebenaran. Dan suatu
keburukan tidak akan berubah statusnya menjadi kebaikan meski sudah jamak
dilakukan kebanyakan orang.
“Standar kebaikan itu adalah Allah
dan Rosulnya, yaitu Al Quran dan Assunah. Bukan menurut manusia dan kebayakan
mayoritas manusia.”
Allah berfirman:
@è% w ÈqtGó¡o ß]Î7sø:$# Ü=Íh©Ü9$#ur öqs9ur y7t7yfôãr& äouøYx. Ï]Î7sø:$# 4 (#qà)¨?$$sù ©!$# Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÉÈ
Katakanlah: "tidak sama yang
buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka
bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat
keberuntungan."
Ada pula
yang menganggap baik segala hal yang menjadi adat istiadat peninggalan nenek
moyang. Segalanya dianggap tradisi luhur yang harus dijaga, meski secara
syariat tak sedikit yang masuk dalam kategori kesyirikan. Betapa banyak orang
yang berbangga dan merasa bisa mengumpulkan pahala dengan melestarikan tradisi
nenek moyang, meski bertentangan dengan syariat. Hingga orang-orang yang
fanatik terhadapnya menjadikan adat sebagai pilihan harga mati. Mereka
mengambil sikap seperti yang Allah sebutkan:
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti
apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.’ Mereka menjawab, ‘Cukuplah
untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’ Dan apakah
mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. al-Maidah:
104).
Inilah
orang yang memperberat perjalanannya dengan beban, padahal mereka mengira telah
membawa banyak bekal.
Yang lebih
banyak lagi terjerumus dalam kesalahan adalah ketika seseorang menganggap
bid’ah sebagai sesuatu yang bernilai pahala. Dengan tampilan dan kemasan yang
tampak mirip dengan syariat dalam pandangan orang awam, bid’ah menjadi amal
favorit kebanyakan orang. Padahal, seandainya habis umur seseorang untuk
mencukupkan diri dengan yang disunnahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam,
niscaya umur telah habis dan masih banyak sunnah yang tertinggal. Lantas
bagaimana bisa seseorang lebih memilih bid’ah yang tidak diajarkan daripada
sunnah?
Inilah
kenapa Ibnu al-Jauzi mengatakan, “Sesungguhnya bid’ah lebih disukai setan
daripada maksiat (dalam versi lain ‘dosa besar’), karena pelaku maksiat mudah
diharapkan taubatnya, sedangkan pelaku bid’ah sulit diharapkan taubatnya.”
Sulit, karena mereka tak menyadari dirinya berdosa, bahkan merasa telah
mengumpulkan pahala.
Begitulah
muhasabah, menuntut kita untuk selektif dalam memilih bekal perjalanan.
Ikut-ikutan jelas bukan menjadi jurus yang bisa diandalkan. Tetapi belajar
Islam lebih detil, peka terhadap penyimpangan dan jeli dalam membedakan. Tidak
sebagaimana ‘haathibul lail’ (pencari kayu bakar di malam hari) yang tidak
membedakan apa-apa yang diambilnya, apakah kayu kering, kayu basah, kayu
berduri, atau bahkan ular turut pula diambilnya.
Jamaah Rahimahumulloh
Muhasabah
akan membuat seseorang menyadari aib dan kekurangan jiwa. Dan barang siapa
tidak mengetahui aib jiwanya, ia tidak dapat membersihkannya. Dan barang siapa
tidak mengetahui kekurangan dirinya, niscaya ia tak akan mampu menutup dan
menyempurnakannya.
Tak ada
waktu yang paling tepat untuk mengoreksi dan memperbaiki, kecuali waktu
‘sekarang’. Karena kita tidak tahu kapan datangnya ajal. Abu Musa
radiyallahu’anhu mengatakan:
حَاسِبْ
نَفْسَكَ فِي الرَّخَاءِ قَبْلَ حِسَابِ الشِّدَّةِ
“Bermuhasabahlah pada dirimu dalam keadaan lapang, sebelum hisab di saat
yang susah.” (Ghidza’ul Albab: II/350).
Tradisi
inilah yang menjadi khas orang mukmin yang takwa dengan para pendosa. Hasan
al-Bashri rahimahulloh mengatakan, “Engkau tidak akan menjumpai seorang mukmin
melainkan dia akan mengintrospeksi dirinya, ‘Wahai jiwaku, apa yang hendak kau
lakukan? Wahai jiwaku, apa yang hendak engkau makan? Apa yang hendak engkau
minum?’ Sementara itu, seorang pendosa akan mengalir begitu saja tanpa
mengintrospeksi dirinya.” Beliau rahimahulloh juga mengatakan, “Sesungguhnya
seorang hamba tetap dalam keadaan baik selama masih ada penasihat dari jiwanya
dan muhasabah selalu menjadi perhatiannya.”
Tatkala
seseorang telah menyadari kekurangan diri, maka mudah baginya untuk memperbaiki
diri. Faktanya, seringkali seseorang telah merasa cukup perbekalannya, banyak
pahala amal shalihnya dan sedikit dosa-dosanya. Mungkin ia hanya membandingkan
dengan orang lain yang ia lihat di sekelilingnya, lalu merasa lebih baik. Ia
tidak melihat bagaimana seharusnya amal dilakukan secara ideal, dan seperti apa
generasi terbaik umat ini telah menjalankan.
Atau bisa
jadi pula ia lupa membandingkan antara kenikmatan yang hendak ia raih, dengan
ikhtiar yang telah ia usahakan. Ia juga lupa membandingkan, antara besarnya
bahaya yang akan menimpanya, dengan usaha yang telah ia jalankan. Adapun orang
yang jeli perhitungannya, tentu akan mendapati banyak kekurangan di segala
lini.
Kemudian tidak lupa kita juga perlu mewaspadai niat kita dalam beribadah,
untuk siapa dan untuk apa kita beribadah.
Jangan sampai pula kita menjadi musafir yang mengira sudah membawa bekal banyak
yang ada justru membawa debu yang tiada guna. Apa yang menjadi sebab? Salah
niat. Yaitu beribadah karena mencari keridhoan manusia, menginkan pujian,
sanjungan serta kedudukan di mata manusia bukannya mencari keridhoan Allah
Subahanahu Wa Ta’ala.
Jamaah yang Berbahagia
Di Khutbah yang kedua izinkan saya menyimpulkan bahwa :
1.
Kehidupan
dunia ini sementara akhirat adalah negeri sebenarnya maka pastikan hati kita
untuk negeri yang abadi yaitu akhirat.
2.
Marilah kita
senantiasa menyiapkan perbekalaan untuk perjalanan abadi dan perlu bermuhasabah
meneliti kembali apakah betul bekal yang kita bawa atau hanya beban yang tiada
berguna.
3.
Marilah
berdoa semoga Allah senantiasa membuka mata dan hati kita untuk selalu bisa
bermuhasabah agar kita bekal yang kita bawa untuk perjalanan menuju Allah
adalah bekal yang sebenarnya bukan yang sia-sia.
Daftar Pustaka :
Ar-risalah.net
Post a Comment