Hamka Ulama yang Tak Tergantikan
ippm-baiturrohim.blogspot.com ~ Sobat muda pada artikel kali ini izinkan saya membahas salah satu tokoh yang saya kagumi. Oh ya silahkan sobat muda juga baca artikel tokoh besar lainnya.
Sobat muda mengenal HAMKA ? Beliau adalah salah satu ulama terbesar yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Beliau yang akrab dipanggil Buya ini tidak hanya seorang ulama, tetapi beliau juga aktif sebagai penulis, sastrawan, wartawan, editor, penerbit dan aktif dalam keorganisasian. Kapasitas Beliau tidak hanya diakui di Indonesia, namanya juga dikenal di berbagai negara sahabat. Bahkan, ulama yang mempunyai nama lengkap Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah ini berhasil menyandang gelar doktor honoris causa dari Universitas Al Azhar, Kairo dan Universitas Kebangsaan Malaysia.
Hamka yang lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908 ini dikenal sebagai ulama yang tegas, teguh. Beliau adalah salah satu sosok pendakwah yang meneruskan perjuangan ayahnya yang bernama Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau.
Ulama yang Produktif
“Jika kita ingin mengenal dunia maka membacalah, tetapi jika kita ingin dikenal dunia maka menulislah” Mungkin Buya Hamka adalah salah satu bukti dari ungkapan ini walaupun beliau sudah wafat, tetapi lewat tulisanya kita masih mengenalnya. Hamka merupakan ulama yang sangat produktif dalam menulis tidak kurang dari 94 karya beliau torehkan, karya terbesar Beliau adalah Tafsir Al-Azhar yang sebagian beliau tulis ketika berada di dalam penjara. Tidak hanya buku-buku bernuansa agama, tetapi beliau juga menulis buku roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan. Novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi karya sastra besar yang dikenal masyarakat hingga ke manca.
Tegas dan Teguh Pendirian
Karakter ini yang paling melekat dari kepribadian beliau ini. Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang menyeganinya. Di Konstituante, ia bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari menjadi pihak yang paling konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat tentang “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta.
Pada zamam pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno.
Selain itu keteguhan Hamka dalam membela prinsip yang diyakininya juga terlihat saat MUI mengeluarkan fatwa tentang “haramnya umat Islam menghadiri perayaan Natal”. Menurut Buya Hamka,
Sederhana dan Rendah Hati
Buya Hamka adalah ketua MUI pertama di Indonesia, Beliau memimpin Majelis Ulama Indonesia selama dua periode, 1975-1980 dan periode 1980-1985. Akan tetapi selama menjadi ketua MUI, Beliau menolak menerima gaji sebagai ketua MUI. Sikap Hamka ini menjadi bukti konsistensinya dan kesederhanaan beliau dalam memegang prinsip pengabdiannya terhadap agama, bangsa dan negara."Kalau saya diminta menjadi anggota Majelis Ulama saya terima, akan tetapi ketahuilah saya sebagai Ulama tidak dapat dibeli," demikian tegas Hamka seperti dikutip M. Roem dalam bukunya Bunga Rampai dari Sejarah.
Sobat muda sekalian Buya Hamka adalah tokoh Muhammadiyah, namun Beliau berkawan baik dengan tokoh NU seperti KH. Abdullah Syafi'ie, ulama kawakan yang juga dijuluki 'Macan Betawi' yang kharismatik. Di antaranya kisah sederhana Buya Hamka dan KH.Abdullah Syafi'ie ialah toleransi dan lebih mengedepankan ukuwah Islamiyah. Kisah ini, sebagaimana yang diceritakan oleh putera beliau, Rusydi Hamka, adalah tentang persoalan khilafiyah seperti qunut, jumlah rakaat tarawih, maupun jumlah adzan shalat jum'at. Meski Buya Hamka boleh dibilang tokoh Muhammadiyah yang tidak mempraktekkan qunut pada shalat subuh, namun beliau menghormati sahabatnya, KH. Abdullah Syafi'ie, ulama yang menyatakan bahwa qunut shalat shubuh itu hukumnya sunnah muakkadah. Buya Hamka jika hendak mengimami jamaah shalat subuh, suka bertanya kepada jamaah, apakah akan menggunakan qunut atau tidak. Dan ketika jamaah minta qunut, tokoh dan penasihat Muhammadiyah inipun mengimami shalat subuh dengan qunut.
Dalam kesempatan lain tentang masalah adzan dua kali. Suatu ketika di hari Jumat, KH. Abdullah Syafi'ie mengunjungi Buya di masjid Al-Azhar, Kebayoran Jakarta Selatan. Hari itu menurut jadwal seharusnya giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena sahabatnya datang, maka Buya minta agar KH. Abdullah Syafi'ie saja yang naik menjadi khatib Jumat. Yang menarik, tiba-tiba adzan Jumat dikumandangkan dua kali, padahal biasanya di masjid itu hanya satu kali adzan. Rupanya, Buya menghormati ulama betawi ini dan tahu bahwa adzan dua kali pada shalat Jumat itu adalah pendapat sahabatnya. Jadi bukan hanya mimbar Jumat yang diserahkan, bahkan adzan pun ditambahkan jadi dua kali, semata-mata karena ulama ini menghormati ulama lainnya.
Begitu pula tentang jumlah rakaat tarawih. Buya Hamka ketika mau mengimami shalat tarawih, menawarkan kepada jamaah, mau 23 rakaat atau mau 11 rakaat. Jamaah di masjid Al-Azhar pada saat itu memilih 23 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat tarawih dengan 23 rakaat. Esoknya, jamaah minta 11 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat dengan 11 rakaat.
Pada akhirnya semua manusia itu akan menemui takdirnya begitupun dengan Buya Hamka. Beliau wafat di Jakarta tanggal 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.
Sobat muda demikianlah sepenggal kisah seorang yang dalam dan berwawasan luas. Ulama yang tak tergantikan keberadaanya. Tokoh besar yang menorehkan tinta emas dengan sifatnya yang tegas, berpendirian kuat namun tetap sederhana dan rendah hati. Sosok ulama yang kepribadianya sudah jarang ditemui di negeri ini. Mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmah dari kisah Buya Hamka ini. Wallohu’alam bi sowab.
Daftar Pustaka :
http://id.wikipedia.org/wiki/Hamka
https://www.facebook.com/notes/hobat-habbatussauda/kisah-sederhana-antara-buya-hamka-dan-khabdullah-syafiie/263017877065461
http://sosok.kompasiana.com/2013/05/18/belajar-dari-kebesaran-hati-buya-hamka-561409.html
http://pcpmminggir.blogspot.com/2012/11/keteguhan-hamka-ketika-ulama-tak-bisa.html#sthash.fi2ZqPE5.dpuf
Sobat muda mengenal HAMKA ? Beliau adalah salah satu ulama terbesar yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Beliau yang akrab dipanggil Buya ini tidak hanya seorang ulama, tetapi beliau juga aktif sebagai penulis, sastrawan, wartawan, editor, penerbit dan aktif dalam keorganisasian. Kapasitas Beliau tidak hanya diakui di Indonesia, namanya juga dikenal di berbagai negara sahabat. Bahkan, ulama yang mempunyai nama lengkap Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah ini berhasil menyandang gelar doktor honoris causa dari Universitas Al Azhar, Kairo dan Universitas Kebangsaan Malaysia.
Hamka yang lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908 ini dikenal sebagai ulama yang tegas, teguh. Beliau adalah salah satu sosok pendakwah yang meneruskan perjuangan ayahnya yang bernama Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau.
Ulama yang Produktif
“Jika kita ingin mengenal dunia maka membacalah, tetapi jika kita ingin dikenal dunia maka menulislah” Mungkin Buya Hamka adalah salah satu bukti dari ungkapan ini walaupun beliau sudah wafat, tetapi lewat tulisanya kita masih mengenalnya. Hamka merupakan ulama yang sangat produktif dalam menulis tidak kurang dari 94 karya beliau torehkan, karya terbesar Beliau adalah Tafsir Al-Azhar yang sebagian beliau tulis ketika berada di dalam penjara. Tidak hanya buku-buku bernuansa agama, tetapi beliau juga menulis buku roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan. Novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi karya sastra besar yang dikenal masyarakat hingga ke manca.
Tegas dan Teguh Pendirian
Karakter ini yang paling melekat dari kepribadian beliau ini. Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang menyeganinya. Di Konstituante, ia bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari menjadi pihak yang paling konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat tentang “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta.
Pada zamam pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno.
Selain itu keteguhan Hamka dalam membela prinsip yang diyakininya juga terlihat saat MUI mengeluarkan fatwa tentang “haramnya umat Islam menghadiri perayaan Natal”. Menurut Buya Hamka,
Mengadakan perayaan hari besar agama yang dihadiri oleh perwakilan berbagai pemeluk agama lain, bukanlah jalan yang tepat untuk memperkuat toleransi. Fatwa itu ditentang keras oleh Menteri Agama waktu itu, Alamsyah Ratoe Prawiranegara. Pak Menteri meminta Hamka untuk mencabut fatwa tersebut. Namun Hamka tegas menolaknya dengan mengatakan bahwa fatwa yang sudah dikeluarkan tidak bisa dicabut. Bahkan Buya Hamka lebih memilih meletakkan jabatannya sebagai ketua MUI ketimbang harus mencabut fatwa.
Sederhana dan Rendah Hati
Buya Hamka adalah ketua MUI pertama di Indonesia, Beliau memimpin Majelis Ulama Indonesia selama dua periode, 1975-1980 dan periode 1980-1985. Akan tetapi selama menjadi ketua MUI, Beliau menolak menerima gaji sebagai ketua MUI. Sikap Hamka ini menjadi bukti konsistensinya dan kesederhanaan beliau dalam memegang prinsip pengabdiannya terhadap agama, bangsa dan negara."Kalau saya diminta menjadi anggota Majelis Ulama saya terima, akan tetapi ketahuilah saya sebagai Ulama tidak dapat dibeli," demikian tegas Hamka seperti dikutip M. Roem dalam bukunya Bunga Rampai dari Sejarah.
Sobat muda sekalian Buya Hamka adalah tokoh Muhammadiyah, namun Beliau berkawan baik dengan tokoh NU seperti KH. Abdullah Syafi'ie, ulama kawakan yang juga dijuluki 'Macan Betawi' yang kharismatik. Di antaranya kisah sederhana Buya Hamka dan KH.Abdullah Syafi'ie ialah toleransi dan lebih mengedepankan ukuwah Islamiyah. Kisah ini, sebagaimana yang diceritakan oleh putera beliau, Rusydi Hamka, adalah tentang persoalan khilafiyah seperti qunut, jumlah rakaat tarawih, maupun jumlah adzan shalat jum'at. Meski Buya Hamka boleh dibilang tokoh Muhammadiyah yang tidak mempraktekkan qunut pada shalat subuh, namun beliau menghormati sahabatnya, KH. Abdullah Syafi'ie, ulama yang menyatakan bahwa qunut shalat shubuh itu hukumnya sunnah muakkadah. Buya Hamka jika hendak mengimami jamaah shalat subuh, suka bertanya kepada jamaah, apakah akan menggunakan qunut atau tidak. Dan ketika jamaah minta qunut, tokoh dan penasihat Muhammadiyah inipun mengimami shalat subuh dengan qunut.
Dalam kesempatan lain tentang masalah adzan dua kali. Suatu ketika di hari Jumat, KH. Abdullah Syafi'ie mengunjungi Buya di masjid Al-Azhar, Kebayoran Jakarta Selatan. Hari itu menurut jadwal seharusnya giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena sahabatnya datang, maka Buya minta agar KH. Abdullah Syafi'ie saja yang naik menjadi khatib Jumat. Yang menarik, tiba-tiba adzan Jumat dikumandangkan dua kali, padahal biasanya di masjid itu hanya satu kali adzan. Rupanya, Buya menghormati ulama betawi ini dan tahu bahwa adzan dua kali pada shalat Jumat itu adalah pendapat sahabatnya. Jadi bukan hanya mimbar Jumat yang diserahkan, bahkan adzan pun ditambahkan jadi dua kali, semata-mata karena ulama ini menghormati ulama lainnya.
Begitu pula tentang jumlah rakaat tarawih. Buya Hamka ketika mau mengimami shalat tarawih, menawarkan kepada jamaah, mau 23 rakaat atau mau 11 rakaat. Jamaah di masjid Al-Azhar pada saat itu memilih 23 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat tarawih dengan 23 rakaat. Esoknya, jamaah minta 11 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat dengan 11 rakaat.
Pada akhirnya semua manusia itu akan menemui takdirnya begitupun dengan Buya Hamka. Beliau wafat di Jakarta tanggal 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.
Sobat muda demikianlah sepenggal kisah seorang yang dalam dan berwawasan luas. Ulama yang tak tergantikan keberadaanya. Tokoh besar yang menorehkan tinta emas dengan sifatnya yang tegas, berpendirian kuat namun tetap sederhana dan rendah hati. Sosok ulama yang kepribadianya sudah jarang ditemui di negeri ini. Mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmah dari kisah Buya Hamka ini. Wallohu’alam bi sowab.
Daftar Pustaka :
http://id.wikipedia.org/wiki/Hamka
https://www.facebook.com/notes/hobat-habbatussauda/kisah-sederhana-antara-buya-hamka-dan-khabdullah-syafiie/263017877065461
http://sosok.kompasiana.com/2013/05/18/belajar-dari-kebesaran-hati-buya-hamka-561409.html
http://pcpmminggir.blogspot.com/2012/11/keteguhan-hamka-ketika-ulama-tak-bisa.html#sthash.fi2ZqPE5.dpuf
Post a Comment