Hukum Merayakan Tahun Baru
Baik cekidot hehehe Islam hanya mengenal dua perayaan hari raya yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.
Dari Anas Radliallahu 'anhu ia berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari raya dimana mereka bersenang-senang di dalamnya di masa jahiliyah[1]. Maka beliau bersabda :
"Artinya : Aku datang pada kalian sedang kalian memiliki dua hari yang kalian besenang-senang di dalamnya pada masa jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua hari itu yaitu : hari Raya Kurban dan hari Idul Fithri". [2]
Dari hadist itu jelas bahwa perayaan tahun baru tidak pernah ada di zaman Nabi Muhammad Solallohu Alaihi Wasallam, bahkan itu merupakan peribadatan orang Kristen. Dan merayakannya sama halnya dengan mengikuti mereka Nabi Solallohu Alaihi Wasallam bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [3]
Merayakan dengan meniup terompet, menyalakan kembang api atau petasan adalah bentuk tasyabuh terhadap kebiasaan orang kafir.
Selain itu perayaan tahun baru juga lebih banyak keburukannya dibandingkan manfaatnya diantara keburukan perayaan tahun baru adalah :
1. Membuang buang waktu.
Perayaan tahun baru didentikan dengan acara begadang semalam menyaksikan pergantian tahun pukul 00.00 biasanya diisi dengan kegiatan yang tidak bermanfaat sekedar foya-foya dan ini membuat waktu terbuang sia-sia.
2. Pemborosan.
Acara yang di sajikan ketika menanti moment pergantian tahun menghabiskan biaya yang banyak seperti acara konser musik dan pesta kembang api dan pesta-peta lainnya.
3. Banyaknya kemaksiatan yang ditimbulkan.
Betapa perayaan ini menyebabkan banyaknya kemaksiatan seperti konser music, mabuk-mabukan, perzinaan dan kemaksiatan lainnya.
Terakhir Sobat kita saksikan pendapat dan fatwa ulama mengenai perayaan tahun baru ini.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum seputar perayaan hari Natal dan Tahun Baru
Pertanyaan: Apa hukumnya mengucapkan selamat kepada selamat kepada orang kafir pada perayaan hari besar keagamaan mereka? (Misal: Merry Christmas, selamat hari Natal dan tahun baru) Dan bagaimana kita menyikapi mereka jika mereka mengucapkan selamat Natal kepada kita. Apakah dibolehkan pergi ketempat-tempat dimana mereka merayakannya. Dan apakah seorang Muslim berdosa jika ia melakukan perbuatan tersebut tanpa maksud apapun? Akan tetapi ia melakukannya hanya menampakkan sikap tenggang rasa, karena malu atau karena terjepit dalam situasi yang canggung, ataupun karena alasan lainnya. Dan apakah dibolehkan menyerupai mereka dalam hal ini?
Jawab: Mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan Natal atau hari besar keagamaan lainnya dilarang menurut ijma’. Sebagaimana disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya “Ahkamu Ahlidz-dzimmah”, beliau berkata, “Bahwa mengucapkan selamat terhadap syi’ar-syi’ar kafir yang menjadi cirri khasnya adalah haram, secara sepakat. Seperti memberi ucapan selamat kepada mereka pada hari-hari rayanya atau puasanya, sehingga seseorang berkata, “Selamat hari raya”, atau ia mengharapkan agar mereka merayakan hari rayanya atau hal lainnya. Maka dalam hal ini, orang yang mengatakannya terlepas dari jatuh kedalam kekafiran, namun (sikap yang seperti itu) termasuk dalam hal-hal yang diharamkan. Ibarat ia mengucapkan selamat atas sujudnya mereka kepada Salib. Bahkan ucapan selamat terhadap hari raya mereka dosanya lebih besar disisi Allah dan jauh lebih dibenci daripada memberi selamat kepada mereka karena meminum khamr atau membunuh seseorang, berzina, dan perkara-perkara yang sejenisnya. Dan banyak orang yang tidak paham agama terjatuh ke dalam perkara ini dan ia tidak mengetahui keburukan perbuatannnya. Maka siapa yang memberi selamat kepada seseorang yang melakukan perbuatan dosa, bid’ah atau kekafiran berarti ia telah membuka dirinya kepada kemurkaan Allah.” –Akhir dari perkataan Ibnul Qayyim.
(Syaih Utsaimin melanjutkan) Haramnya memberi selamat kepada orang kafir pada hari raya keagamaan mereka sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim adalah karena didalamnya terdapat persetujuan atas kekafiran mereka dan menunjukkan ridha dengannya. Meskipun pada kenyataanya seseorang tidak ridha dengan kekafiran namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim meridhai syi’ar atau perayaan mereka, atau mengajak yang lain untuk memberi selamat kepada mereka. Karena Allah Ta’ala tidak meridhai hal tersebut, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hambaNya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuran itu.” (QS. Az-Zumar 39:7). Allah Ta’ala juga berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maaidah:3).
Maka memberi selamat kepada mereka dengan ini hukumnya haram, sama saja apakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang terlibat bisnis dengan seseorang (Muslim) atau tidak. Jadi jika mereka memberi selamat kepada kita dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya karena itu bukan hari raya kita dan hari raya mereka tidak diridhai Allah karena hal itu merupakan hal-hal yang diada-adakan (bid’ah) didalam agama mereka atau hal itu ada syari’atnya tapi telah diihapuskan oleh agama Islam yang Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam telah diutus dengannya untuk semua makhluk. Allah Ta’ala berfirman tentang Islam, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85).
Dan bagi seorang muslim, memenuhi undangan mereka untuk menghadiri hari rayanya hukumnya haram. Karena hal ini lebih buruk daripada sekedar memberi selamat kepada mereka, dimana didalamnya akan menyebabkan berpartisipasi dengan mereka. Juga diharamkan bagi seorang muslim untuk menyerupai atau meniru-niru orang kafir dalam perayaan mereka dengan mengadakan pesta, bertukar hadiah, libur dari bekerja atau yang semisalnya. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu’alihi wa sallam, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam bukunya, Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, “Menyerupai atau meniru-niru mereka dalam hari raya mereka menyebabkan kesenangan dalam hati mereka terhadap kebathilan yang ada pada mereka, bisa jadi itu menguntungkan mereka guna memanfaatkan kesempatan untuk menghina/ merendahkan orang-orang yang berpikiran lemah.” (Fatwa Syaikh Utsaimin dikutip dari www.salafy.or.id)
Foote Note
[1]. Yaitu hari Nairuz dan hari Mahrajan. Lihat "Aunul Ma'bud" (3/485) oleh Al-Adhim Abadai.
[2]. Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad (3/103,178,235), Abu Daud (1134), An-Nasa'i (3/179) dan Al-Baghawi (1098)
[3] (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)
Daftar Pustaka :
http://almanhaj.or.id/content/1168/slash/0/rahmat-allah-bagi-umat-muhammad-dengan-dua-hari-raya-idul-fithri-dan-idul-adha/
www.salafy.or.id
Post a Comment